POP SEBLAY: Telanjang Bulat Seorang Danilla Riyadi

Nandita Dhanesvari
13 min readMar 12, 2022

--

Source: Spotify.

Di tengah sibuknya pekerjaan, ada satu rutinitas yang saya perhatikan selalu terjadi di tanggal merah. Saya selalu mencari album apa yang bisa diulas, “mumpung” ada waktu senggang. Belakangan belum ada lagi album lokal yang menarik, mungkin karena saya juga kurang mengulik. Sampai suatu pagi muncul announcement di Spotify tentang rilisan album terbaru Danilla Riyadi, POP SEBLAY.

Saya bukan orang yang rajin klik pengumuman atau iklan di media sosial, tapi materi visual POP SEBLAY sangat menarik. Terlebih, hati saya bilang “ah, cocook!”, akhirnya ada bahan untuk menulis lagi. Segera saya dedikasikan 54 menit 12 detik selanjutnya untuk pengalaman perdana menyimak album ketiga Danilla (keempat kalau Peluh, Gairah, & Kelana dihitung), setelah terakhir merilis EP Fingers 3 tahun lalu.

Sebelum saya mengoceh tentang 12 lagu terbaru Danilla, mari bersama-sama kita apresiasi pemilihan judul album ini. Kita semua tahu “Pop” berarti populer, tapi “Seblay” itu apa? Dari artikel press release hingga beberapa wawancara yang saya lihat, seniman audio visual, Fluxcup, ternyata sumber inspirasi penamaan judul ini, spesifiknya beberapa video Monyet Seblay ciptaannya.

Apakah ada manusia lain sebelum Fluxcup yang merupakan inventor kata “Seblay” sesungguhnya, saya tidak tahu. Tapi karya Fluxcup di bawah ini menurut saya mendefinisikan kata “Seblay” dengan baik.

Danilla dan teman-teman sepertinya merujuk pada rasa kekenyangan habis makan, suasana perut begah ingin rebah, bisa juga pengalaman tipsy-tipsy sedikit, dimana kita hanya ingin bersantai di pinggir pantai sambil memejamkan mata dan menikmati angin sepoy-sepoy sore hari. “Jangan ganggu, gue lagi enak”, mungkin itu. Penggunaan kata yang jarang terdengar awam ini sukses membuat warga menoleh.

Pada ulasan kali ini, saya akan mengobrak-abrik urutan lagu aslinya karena sependengaran saya, antar satu lagu dengan yang lainnya juga tidak ada alur cerita yang disengaja. Meskipun, enam track pertama sifatnya jauh lebih personal, seperti isu-isu yang sangat dianggap penting oleh Danilla, sementara enam sisanya lebih soal kehidupan sosial masa kini. Saya akan mengurutkan dari lagu yang saya sukai, sampai yang paling saya cintai. (Ya, tidak ada satupun lagu yang tak diterima telinga saya dari album ini.)

#12 BERAT Badan

24 detik pertama dari lagu ini dibuka dengan nada-nada serupa theme song game Mario Bros. Pendengar seperti diajak bermain, tapi tiba-tiba kalah, game over. Setelah itu lagu memasuki intro yang sesungguhnya dengan notasi yang lebih “tetew-tetew” ala gitar fuzz. Judul lagu ini tidak berbohong, karena lirik-nya memang soal berat badan, standar kecantikan, isu-isu body shaming yang sering dilontarkan tidak hanya kepada Danilla, tapi juga pada perempuan (dan beberapa laki-laki) pada umumnya.

Yang menarik buat saya sebenarnya adalah perubahan dari intro “Mario Bros” ke intro yang sesungguhnya. Kenapa menggunakan sound effect seperti game? Apakah karena Danilla sering dipermainkan publik soal berat badannya? Siapakah yang “kalah” di sini, Danilla, atau mereka yang suka mencerca paras seseorang karena bentuk fisiknya? Mungkin perubahan ini menandakan kemenangan Danilla yang telah berhasil mengacuhkan perkataan orang. Well, hanya Danilla dan tim yang tahu, siapa tahu mereka memang sekedar iseng saja.

#11 Di Balik Selimut

Source: Spotify.

Seperti apa yang terpampang pada cover EP Fingers, Danilla memang seorang pecinta kucing, dan hal ini kembali ditekankan pada tembang nomor 7 dari POP SEBLAY. Berikut beberapa bagian menarik dari Di Balik Selimut.

Jika didengarkan dengan earphone, akan terdengar jelas suara “ngiiiing” pada 1:34–1:41 yang bergerak dari sebelah kiri ke sebelah kanan. Ini pengalaman mendengar yang sangat-sangat menarik perhatian, karena sungguh terasa di telinga. Apalagi dilanjutkan dengan perubahan tempo yang lebih upbeat dan bassline yang mulai tidak malu-malu. Tetapi irama yang cepat ini tidak berlangsung lama, karena pada 2:19, lagu mulai tenang kembali dan diteruskan dengan isian-isian nada dari berbagai instrumen yang mudah dinikmati.

Mulai dari 3:13, lantunan nada bergumam Danilla terdengar sangat jazzy dengan chest voice yang perlu diapresiasi. Lagu ditutup dengan suara Lupus Mutiara yang mengeong, sebagai salah satu tambahan audio yang menurut saya memang perlu untuk menambah kesan humanis pada album ini.

#10 Dungu-Dungu

Untuk seorang Danilla yang gaya bicaranya sama sekali tidak diplomatis di media, Dungu-Dungu bahasa yang terlalu halus buat mengumpat. Dari judul sampai lirik, sebenarnya lagu ini sesimpel ngatain orang lain goblok. Tapi Danilla bisa mengemasnya dengan cara yang sungguh elegan. Ini hujatan yang bersembunyi dibalik harmoni indah. Pecah nada di 1:02–1:08 yang lebih dominan dibanding melodi utama adalah contoh melodi yang sopan masuk telinga.

Dungu-Dungu membuat saya membuka google translate, saking penasaran dengan lirik pada dua menit terakhir. Ada empat baris yang diulang-ulang sebanyak tiga kali seperti mantra secara choir.

“Kimino sureba janari (Jika kamu melakukan)
Gobo-goborida embakwe (sayangnya google translate gagal mendeteksi)
Hulu siah nu siga runtah (Kepala kamu seperti sampah)
In every time in the sky tonight (Di setiap waktu di langit malam ini)”

Mantra yang terdiri dari berbagai bahasa: Jepang, Sunda, Inggris. Saya berusaha mencari arti dari baris kedua namun tidak mendapatkannya. Asumsi saya, baris kedua diambil dari bahasa Afrika, Zulu, atau bahkan Papua. Tetapi “Goborida” dalam bahasa Jepang berarti “ini gila”. Mungkin mantra ini bentuk sumpah serapah yang lagi-lagi diperhalus oleh sang penulis lirik, Danilla & Swadaya Insani (nama panggung Lafa Pratomo untuk proyek pribadinya), untuk makhluk-makhluk berkelakuan gila dan berpikiran kotor diluar sana.

#9 Dalam Nirvana

Penikmat musik Jazz mungkin sudah pernah mendengar Dalam Nirvana dengan versi asli milik Suave, band lama Lafa (produser beberapa album dan gitaris Danilla) dengan Aldi Nada Permana. Kini lagu Dalam Nirvana diaransemen ulang dan diperbaharui, yang tadinya bossanova menjadi disko.

Lagi-lagi, ada perubahan tempo yang signifikan seperti pada Di Balik Selimut sebelumnya. Dari alunan piano yang lembut, tiba-tiba ada suara gitar elektrik yang cukup mengagetkan pada 2:16–2:18. Dan lagi-lagi, tempo kembali melambat pada 2:51. Yang menarik, mulai dari 3:31 tempo kembali upbeat diiringi beberapa nada instrumen yang bertabrakan. Ini hal yang menarik, mencerminkan seru-nya tim Danilla bermain dan bereksplorasi.

Meskipun kata Vino Karsantini pada Instagram Live Kios Ojo Keos bersama Danilla dan Otta Tarrega (produser POP SEBLAY sekaligus keyboardist Danilla) ada selipan alunan gitar dari lagu “Oh No” milik Capone, tapi saya kurang teliti untuk menemukannya. Mungkin teman-teman ada yang mau mencari?

#8 Maka Dari Itu

Ini track terakhir yang cukup membingungkan saya secara lirik, apalagi waktu pertama mendengarnya. Banyak pertanyaan yang muncul, utamanya tentang kenapa ini jadi lagu penutup dari POP SEBLAY? Memang, secara aransemen lagu ini sangat tenang dan megah dengan iringan seperti orkestra, apalagi di bagian interlude. Saking megahnya, 3:16–4:40 sangat cocok untuk jadi soundtrack serial Netflix, Bridgerton, khususnya adegan terakhir di episode 1 season 1. Jadi asumsi saya, kemegahannya-lah yang membuat lagu ini cocok untuk menutup album.

“Ku tak apa ‘tuk menjadi yang kedua asalkan
Selamanya, Dipasangkan
Bukan berarti kita bersatu hingga usang”

Kenapa sih ada orang yang mau dijadikan nomor dua? Awalnya saya kira ini lagu tentang perselingkuhan. Tetapi, bait berikutnya membuatnya semakin tidak masuk akal, apalagi bait yang terakhir.

“Kuingin segala pertama denganmu
Dan kita telah menangis di jalannya
Bahwasannya ku akan berdarah untukmu
Dan kita kan selalu tertawa”

Setelah menonton IG Live bersama Kios Ojo Keos, barulah saya paham bahwa ini bukan tentang kisah cinta terlarang, melainkan tentang persahabatan yang suci dan sakral. Lirik lagu ini merupakan kolaborasi antara Danilla, Otta, beserta dua teman mereka, Khairul Andifa (Difa) dan Mochammad Anindika Ramadhan (Anin). Lagu yang tercipta saat mereka sedang dibawah pengaruh alkohol ini ternyata mengisahkan tentang bagaimana seorang sahabat bisa menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan hidup.

Lagu berdurasi 4 menit 47 detik ini juga dilengkapi suara tawa Difa yang selayaknya menertawakan nelangsanya hidup, sekaligus bahagianya bersenda gurau dengan teman terdekat. Haru, mungkin kata yang lebih tepat untuk menggambarkan Maka Dari Itu, dibandingkan kata sedih. Mengutip Otta Tarrega, ini lagu konklusi, dan saya tidak lagi ragu untuk mengatakan ini lagu yang tepat sebagai penutup dari POP SEBLAY.

#7 MPV

Inilah single yang mengawali 2022, sekaligus lagu pertama dari album terbaru yang dirilis oleh Danilla. Dengan meluncurkan MPV agar didengar lebih dahulu oleh warga, sebelum mendengarkan POP SEBLAY, dengan sangat jelas Danilla menyampaikan bahwa album terbarunya akan sangat berbeda.

Tembang dibuka dengan narasi dari Danilla yang mengisyaratkan kesal, sekaligus sedih dan kecewanya. Dari kali pertama mendengarnya saja saya bisa merasakan ada kerapuhan Danilla yang diperlihatkannya secara nyata kepada kita semua. Inilah alasan pertama mengapa menurut saya Danilla telanjang di album ini.

Pendengar yang gagal move on mungkin sering kita temukan, apalagi penikmat musik seringkali mengkotak-kotak-an genre dan merasa yang paling tahu. Padahal seorang musisi bisa berkembang seiring bertambahnya referensi musik dan teknologi yang makin canggih. Tetapi pembuat event yang masih saja request untuk Danilla membawakan lagu-lagu dari album pertamanya, Telisik, karena itu yang disukai penonton? Menurut saya itu pelecehan yang sangat tidak mengapresiasi karya musisi. Pantas kalau Danilla semarah ini.

#6 Kudikan

Di lagu inilah kita menyaksikan kembali peran Fluxcup dalam POP SEBLAY. Kudikan dibuka dengan adlibs ala Fluxcup yang akan terngiang-ngiang di kepala. Saya setuju dengan tulisan Anto Arief di Pop Hari Ini tentang Kudikan, bahwa ini lagu pembuka yang kuat. Ketika akan mengulas sebuah album, kebiasaan saya adalah mendengarkan seluruh tracknya dari awal sampai akhir sesuai urutan secara berulang-kali. Sebagai track nomor satu yang saya dengar, Kudikan sukses membuat saya bertahan untuk lagu-lagu berikutnya.

Tetapi, ini juga lagu yang secara lirik membingungkan saya lagi. Adlibs Fluxcup di awal dan di akhir lagu membuat saya berasumsi latar dari lagu ini adalah di lapangan parkir sebuah klub malam. Liriknya yang nakal juga menambah kesan sensual. Tapi aransemen dangdutnya membuat saya jadi ragu, apa jangan-jangan ini soal biduan yang lagi disawer?

Secara konsep, mungkin Kudikan yang paling “berkisah”. Dibuka dengan “Sepenggal tembang dua insan” dan ditutup dengan “cerita, ceritanya begini”. Meskipun saya kurang memahami kenapa judul lagu ini menggunakan kata “kudikan (korengan)”, tetapi kudikan adalah upaya Danilla untuk menunjukkan karya eksplorasi yang jauh berbeda dengan karya sebelumnya, dan keberhasilannya patut diapresiasi.

#5 “S E N J A” di Seberang Nusa

Ini lagu paling Telisik dan paling sarkas. Dari judulnya saja, penggunaan kata senja yang di capslock, diberi spasi, dan diberi tanda kutip, sudah terlihat Danilla mengolok-olok para pemuja “anak senja”. Jika didengarkan sedari awal, lagu ini seperti lagu jatuh cinta. Dan saya suka sekali nada pada “Berharap seraya menggigit jari”. Bagian reffnya juga sangat mudah diingat, salah satu yang paling nempel sih di otak saya. Secara aransemen, lagu ini satu nuansa dengan Berdistraksi.

“Seharian mencurahkan isi hati
Dengan kerabat sana-sini dan katanya
Dengarkanlah tembang Danilla
Siapa pula penyanyi itu tapi
Mengapa lagu-lagunya sungguh kurasa
Benar adanya kurasa

Haru ku dibuatnya
Kusenandungkan nadanya”

Rasanya jelas sekali sindiran Danilla untuk para pendengarnya. Tapi saya pribadi tidak ada masalah dengan itu. Saya suka album Telisik, saya juga suka Fingers, dan mungkin sangat jelas terlihat bahwa saya jatuh cinta dengan POP SEBLAY. Menurut saya Danilla tidak meninggalkan ciri khasnya di Telisik, ia hanya beranjak dewasa saja. Musik-musiknya semakin matang, beragam, dan kreatif.

#4 Fel d 1

Tidak hanya Kunto Aji, saya pun terkecoh dengan lirik dan lantunan melodi Fel d 1. Siapa sangka seorang pecinta kucing memiliki alergi terhadap kucing? Fel d 1 adalah alergen utama yang ada pada kucing. Hal inilah yang menghambat Danilla buat tidur bareng kucing.

“Terbangun, terlentang, tak kuasa
Aku tak kuasa
Menahan, menahan
Dengarlah nafasku
Apa kau mampu?”

Lirik yang sangat nakal, menggoda, dan misleading ini membuat orang berpikiran kemana-mana. Apalagi, aransemen R&B dengan nada-nada minor yang sangat cocok dengan suara Teddy Adhitya menjadikan lagu ini semakin sensual. Sangat-sangat sensual, terlalu sensual bahkan untuk lagu tentang alergi.

Intro lagu ini sempat membuat saya berpikir ini lagu Kunto Aji album Mantra Mantra. Tapi bagian kesukaan saya, 2:40–4:20. Gumaman Danilla, lantunan backing vocal Teddy, dengan bassline dan dentuman drum yang menjaga tempo, sukses merepresentasikan gairah berlebih yang mendukung sensualitas dari Fel d 1, kalau saja tidak ada batuk-batuk-nya Danilla yang menegaskan kembali kalau ini lagu benar-benar tentang alergi.

#3 Bukan Otomata

Kemampuan Danilla dan tim dalam bermain kata dan memilih diksi paling saya suka dalam lagu ke-tiga album POP SEBLAY ini. Otomata sendiri berarti robot, dan lirik berikut seketika mengingatkan saya kepada kasus Bu Risma dengan teman-teman tunarungu akhir tahun lalu.

“Mereka bukan otomata
Sama-sama bisa merasa
Hanya karena tak dapat bicara
Tak berarti tak bisa merasakan derita”

Tetapi setelah saya selidiki lagi, POP SEBLAY sudah selesai di produksi pada masa itu, sehingga rasanya tak mungkin, meski sangat relevan dan sesuai. Nyatanya lagu ini soal kasus penganiayaan kucing. Meski begitu, saya merasa Danilla sedang memotret zaman melalui Bukan Otomata dan beberapa lagu lainnya di POP SEBLAY.

Dari segi musikalitas, nada pada bagian reff sangat catchy. Ini salah satu lagu yang lirik dan melodinya mudah nempel di kepala. Penggunaan kata “Aduh, Mak!” juga unik, karena sepertinya sudah jarang dipakai oleh anak muda era ini, tapi dipopulerkan kembali oleh Danilla. Built Up yang bermula di 3:07 juga sukses membawa mood lagu ini semakin terpancar amarahnya. Didukung dengan dentuman drum yang tegas dan dominan. Lagu ditutup dengan reff yang dibalut sound effect chipmunk, mungkin untuk mewakili suara para hewan yang seringkali hak hidupnya berusaha kita bungkam.

#2 Di Mana?

Di Mana? juga salah satu lagu yang menurut saya memotret zaman.

“Tibanya saatku
Bertekuk lutut padamu
Menatap kakimu
Dengan sepatu yang baru”

Entah sedang melakukan aktivitas apa hingga Danilla bisa bertekuk lutut dan menatap sepatu baru seorang lelaki, tetapi lirik lagu ini menceritakan persis banyak orang-orang belagu yang tidak mau berbagi informasi karena takut kalah saing. Sepatu memang menunjukkan status sosial seseorang, tapi apakah hal ini lantas mengesahkan untuk bertingkah tengil dan seenaknya?

Suara Bobby Mandela yang genit dan menggoda juga menambah kesan menyebalkan pada lagu ini. Lirik pada bagian bridge dan pre-chorus kedua menurut saya sangat tepat sasaran. Banyak warga dengan sepatu mahal yang terlalu berhati-hati merawat sepatunya, yang pada akhirnya akan lekang juga oleh waktu. Meskipun hal ini juga bukan hal yang salah. Perubahan aransemen pada bagian pertama yang terkesan lebih sensual dibandingkan bagian kedua yang lebih playful dan jenaka memberikan variasi untuk lagu berdurasi 4 menit 51 detik.

Yang membuat saya menoleh dari lagu ini awalnya adalah bagian reff, terutama saat “Di Mana?”. Rasanya seperti sedang dipaksa menjawab pertanyaan yang sulit, dalam konteks yang positif. Banyak tempo dan instrumen yang kesannya bertabrakan, tapi tetap manis di telinga. Permianan drum pada 2:03–2:30an sangat mencuri perhatian. Dan alunan trompet pada lagu ini menambah kesan jazzy.

#1 KIW

Per hari ini, KIW sudah diputar sebanyak 203,825 kali di spotify, terbanyak di album POP SEBLAY. Saya punya alasan tersendiri kenapa KIW menempati posisi nomor satu. Sebelum music video-nya rilis, saya sudah jatuh hati dengan lagu ini. Tapi memang gak sulit kok buat mencintai KIW, apalagi dengan temponya yang bikin semangat menjalani hari dan nada yang catchy.

Tapi awalnya, saya kira ini lagu jatuh cinta biasa. Angan-angan seseorang bisa menaklukkan pasangan idamannya. Tapi plot twist-nya ada di MV yang baru rilis 2 Maret yang lalu. Danilla mengawali mv dengan narasi yang tidak ada di versi audio.

“Apa muka gua ngeselin? Apa tato gua bikin lo jijik? Apa badan gua semengganggu itu? Apa rasanya jadi tukang ketik yang paling sangar? Mana yang paling lo suka, ngetik atau ketemu? Emang gua peduli?”

46 detik pertama, yang saya dengar hanya patah hati. Danilla terdengar sangat sedih dan marah. Lalu intro lagu masuk, dan selebihnya mahakarya visual kerja tangan Yogi Kusuma selaku director dan tim. Narasi dan visual pada music video KIW-lah yang membuat saya “HAH?” sambil berpikir ulang tentang pemaknaan saya terkait lagu ini.

Dan sadarlah saya, terutama setelah adegan tubuh Danilla dijadikan tatakan untuk liwetan, bahwa KIW tidak sesederhana itu. Asumsi saya, lirik KIW ditulis dari sudut pandang seorang cat caller.

“Jadi teringat malam itu, aku “kiw-kiw” saja
Tapi apalah balasanmu
Aduhai betapa sinisnya
Aku maunya itu kamu, apa kamu mau juga?
Tapi apa kabar inginmu?”

Masih banyak orang yang menganggap aktivitas cat calling itu biasa saja, bahkan ada yang berlindung di balik “apresiasi”, bahwa itu adalah pujian atas individu berparas cantik berpenampilan menarik. Tapi tubuh bukan untuk konsumsi publik! Gak bisa seenaknya “dimakan”. Masih banyak cara lain untuk memuji, dan tolong pisahkan terpukau dengan terangsang.

Ini lah salah satu isu sosial yang juga dipotret oleh Danilla pada POPSEBLAY. Dan jujur, saya kasihan dengan Danilla. Sebegitu sering dan banyak-nya kah orang-orang yang mengeksploitasi tubuh dan wajahnya untuk kenikmatan mereka pribadi? Pasti pengalaman yang sangat pahit dan menyakitkan. Dan saya rasa Danilla merepresentasikan banyak perempuan lainnya yang masih saja sering diobjektifikasi.

Saya tidak punya dasar-dasar keilmuan terkait videografi dan filmografi, tapi saya bisa bilang kosep MV KIW jauh lebih kompleks daripada MPV. Teman-teman wajib nonton, tidak akan kecewa.

KESIMPULAN

Mengutip wawancara saya dengan Riko Prayitno (Musisi dan Gitaris Mocca) 4 tahun lalu, POP SEBLAY memenuhi kriteria album yang baik, karena keberhasilannya memotret zaman. Memang album ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan Telisik dan Lintasan Waktu. Tetapi pendewasaan musik Danilla sangat terasa.

Bisa dibilang album ini cukup panjang, hampir semua lagu berdurasi 4–5 menit. Tetapi aransemen, genre, dan isu yang dibawakan sangatlah variatif. Kolaborasi-kolaborasi pada album ini juga menarik, tidak hanya dengan sesama musisi, tetapi juga dengan penyiar, bahkan hewan. Banyak yang bilang ini album main-main, tapi buat saya ini album yang sangat serius.

Opini saya, album ini adalah bentuk yang jauh lebih sempurna dari EP Fingers. Tentu secara genre, POP SEBLAY lebih populer. Tetap ada sisi lawas dan jazz-nya, tapi jauh lebih modern. Isu yang diangkat juga sangat personal dan apa adanya. Diksi dan kosakata pada lirik sangat sehari-hari, tapi juga puitis seperti syair.

Dari segi vokal, saya senang dengan suara yang dihasilkan pada album ini. Informasi dari komentar Mas Lafa selaku sound engineer di Youtube Binaural TV, 3 tahun belakangan ini Danilla menggunakan mic Shure SM7B untuk rekaman. Sepertinya microphone yang sama sudah mulai digunakan sejak produksi EP Fingers, karena suara Danilla yang airy terdengar lebih penuh, lebih percaya diri, dan kualitasnya lebih jernih.

Apresiasi lebih untuk Danilla. Sama seperti Isyana, dua penyanyi ini mulai aware untuk menampilkan anggota tim yang banyak berkontribusi pada karir musiknya, seperti band pengiring, ataupun road manager, dan peran-peran lainnya yang ada dalam sebuah ekosistem musik. Tidak hanya berkolaborasi pada saat proses produksi, tetapi juga menampilkan wajah mereka pada music video agar lebih terekspos lagi kepada publik.

Terkait music video juga, pada MPV dan KIW, Danilla sama-sama mengenakan lipstik warna merah yang cemong di muka. Apakah ini akan menjadi ciri khas di setiap MV POP SEBLAY? Mungkin sebagai representasi luka dalam diri yang selama ini tak diperlihatkan? Saya masih menantikan MV lagu lainnya.

POP SEBLAY seperti oase di tengah gurun, penyegaran dan referensi baru bagi penikmat musik. Selamat untuk Danilla, Otta Tarrega selaku produser, dan seluruh tim yang terlibat dalam produksi album ini!

--

--

Nandita Dhanesvari
Nandita Dhanesvari

Written by Nandita Dhanesvari

Mengarsipkan opini tentang musik lokal dan sekitarnya.

No responses yet