Interview Mocca: Album yang Baik itu Potret Zaman
Akhir Februari lalu grup band Mocca kembali meluncurkan album terbarunya, Lima, sesuai dengan jumlah album yang telah dirilis sepanjang Mocca berkarya di dunia musik. Album ini terdiri atas delapan lagu yang seluruhnya berbahasa Indonesia. Selain dirilis dalam bentuk fisik, album Lima juga dirilis secara digital di Apple Music, Spotify dan JOOX.
Band yang digawangi Riko Prayitno (gitar), Arina Ephipania (vokal), Ahmad ‘Toma’ Pratama (bas), dan Indra Massad (drum) ini juga berkolaborasi dengan Gardika Gigih di bagian piano, dan Achihardjakusumah untuk mengisi violin dalam salah satu lagu baru di album Lima, “Ketika Semua Telah Berakhir”. Album ini merupakan gebrakan baru dan wadah bagi Mocca untuk keluar dari zona nyaman. Selain berinovasi melalui Bahasa, album Lima merupakan kali pertama Mocca secara tidak sengaja diproduseri oleh Mondo Gascaro.
Pada Minggu, 29 April 2018 lalu, Gilanada.com berkesempatan untuk mewawancarai Riko sebagai perwakilan dari Mocca, di Bandung. Sebelum mampir ke Bandung, Mocca telah singgah terlebih dahulu di Jakarta dan Jogjakarta. Banyak hal yang kami bahas seperti makna artwork album Lima yang ternyata begitu dalam artinya, adanya campur tangan penulis ternama Dewi Lestari (yang adalah kakak dari Arina) dalam penulisan lirik, juga tentang keinginan kolaborasi dengan musisi lain yang belum kesampaian.
Bagaimana respon crowd di Jakarta dan Jogja terhadap album Lima ini?
Okey sih, kemarin kami sempat manggung di beberapa kota, mereka udah mulai sing along. Spread lagunya udah merata gitu. Kemaren baru awal-awal kami rilis single, kami main di Balikpapan udah mulai nyanyi-nyanyi bareng. Sejauh ini responnya positif sekali.
Kebetulan album Lima ini, Riko yang menulis semua lagu dan liriknya. Hal apa yang menjadi trigger bagi Mocca untuk mengambil tantangan dengan merilis album full berbahasa Indonesia?
Kuncinya keluar dari comfort zone. Menurut saya, seniman itu harus bisa keluar dari comfort zone. Beberapa musisi yang terjebak di comfort zone pada akhirnya karyanya begitu-gitu aja, gaada dinamikanya gitu.
Ada kesulitan apa dalam penulisan lirik yang biasanya Bahasa Inggris, sekarang Bahasa Indonesia seluruhnya?
Ini tantangannya, lumayan sulit sebenarnya. Saya risetnya juga setahun sebelum memulai album ini, sebelum berani menulis saya harus dengerin lagu-lagu Bahasa Indonesia yang cocok sama Mocca.
Siapa saja influence dalam proses pembuatan album Lima?
Saya dengerinnya banyak, kebetulan waktu itu kami bareng sama Payung Teduh juga. Saya banyak ngobrol dengan Is. Danilla juga saya dengerin, yang lama-lama kayak Kla Project. Apa ya… kami harus cari formula yang pas gitu. Mocca itu gak boleh yang terlalu puitis, tapi juga gak boleh terlalu cheesy. Jadi emang harus pas gitu porsinya, itu yang harus diseimbangkan.
Apakah sempat meminta bantuan dari Dewi Lestari dalam penulisan lirik?
Iya, waktu itu ketika sudah bisa nulis, saya tanya “Gua udah bikin lagu nih. Gimana menurut elo?”, Lalu dia bilang “Oh, ini kayaknya padanan katanya masih kurang enak nih”. Ya, saya ngefans lah sama Mbak Dewi. Soalnya, bukunya, lagu-lagunya, kalo kami simak, sebenarnya bahasanya ga terlalu berbunga. Gak terlalu berat, sehari-hari, cuman penempatannya tuh pas gitu.
Melalui album berbahasa Indonesia ini, identitas apa yang ingin disampaikan oleh Mocca?
Sebenarnya, kami pengen tiap album memiliki identitas. Seperti, albumnya Mocca yang brass section tuh album Friends. Kami tuh pengen tiap album punya ciri khasnya masing-masing. “Oh, ini lagunya Bahasa Indonesia. Pasti dari album Lima.”
Apa makna dari artwork album Lima?
Sebenarnya kan penulisan album ini karena melihat keadaan Indonesia ada masalah pilkada, banyak hoax. Saya ngerasa, Indonesia kok terpecah-belah yaa.
Lagu pertama yang saya bikin itu “Aku dan Kamu”. Itu sebenarnya tentang bendera. “Aku merah, kamu putih. Tanpa kamu apalah artinya.” Sebenarnya tentang itu. Jadi saya pengen Mocca nasionalis, tapi gak yang secara gamblang kayak paskibra gitu.
Kami cinta Indonesia, tapi dengan cara kami. Menurut saya, album itu seharusnya kayak potret zaman. Pas dengerin lagu ini, “oh Indonesia keadaannya lagi begini”. Menurut saya seharusnya gitu album yang baik. Makanya, ada matahari dan bulan. Semuanya itu butuh keseimbangan.
Album ini diproduseri oleh Mondo Gascaro. Mengapa?
Biasanya kami kan sama Ari Renaldi, yang produsernya Tulus. Nah, kebetulan kami ingin mengembalikan semangat seperti pada saat pertama Mocca mulai. Seperti ngejagain mixing, yang kayak gitu-gitu, jadi kendala kalau harus mixing di Bandung sementara kami domisili sudah di Jakarta. Kalau kayak gitukan seperti pada album Home, cuman via whatsapp, gak terjun langsung. Jadi yang pertama, kita harus mixing di Jakarta nih.
Ngobrol-ngobrol, ternyata mas Mondo cocok nih. Awalnya gua tanya, “Ndo, lo bisa gak mixing?” lalu dia bilang “Gua gabisa operate, tapi gua bisa supervise.” Yaudah gitu aja, tapi akhirnya dia jadi menyelesaikan lagu. Misalnya, “ini diapain lagi ya?” “Oh ini diginiin aja.” “Yaudah lo aja selesain.” Jadi yaudah, jatohnya dia dijebak jadi produser secara tidak langsung. Menyenangkan juga sih, banyak keluar dari comfort zone.
Album ini benar-benar semuanya keluar dari comfort zone. Biasanya bahasa inggris, sekarang Bahasa Indonesia. Designer biasanya sama Iyoichi, sekarang sama mahasiswa ITB. Baru sekarang ini juga punya produser.
Denger-denger, album Lima juga mau dicetak dalam bentuk vinyl dan dirilis ke Korea Selatan. Bagaimana ceritanya?
Jadi album ini saya kasih dengerin ke orang Korea. Katanya gapapa Bahasa Indonesia semua, karena dia suka moodnya. Kemudian dia nawarin untuk membuatkan vinylnya. Awalnya kami sudah hopeless saja tidak akan dirilis karena bahasanya yang Indonesia semua tapi ternyata dia suka atmosfernya sampe dia mau rilisin vinyl. Saat ini masih dalam proses, dia minta masternya, dll. Vinyl ini akan rilis di Indonesia juga.
Selama hampir dua dekade Mocca berkarya, apakah ada musisi yang belum kesampaian untuk diajak berkolaborasi?
Naif. Dari dulu pengen, udah sempet ngobrol tapi belum jodoh aja. Suatu saat saya pengen.
Bagaimana cara Mocca menjaga hubungan dengan Swinging Friends, dengan masyarakat selama Mocca berkarya bahkan ketika sempat hiatus?
Sosial media sangat berperan besar. Terus terang, waktu last show itu kami bener-bener pengen udahan. Karena ya menurut kami, udah nggak ada futurenya. Arina di Amerika, mau bikin apa juga susah kan promonya. Dari situ, Swinging Friends jadi tambah banyak dan kami panik. Akhirnya waktu itu Arina sempet bolak-balik kesini, kami ngobrol. Kayaknya pertanggungjawaban kita tuh bukan antar personel deh, tapi lebih ke Swinging Friends. Kita tuh istilahnya perantara Tuhan, kita harus pertanggungjawabkan ini. Akhirnya yaudah, jalan lagi, dan support dari Swinging Friends cukup besar, jadi seneng aja.
Apa rencana Mocca kedepannya?
Kita sebenarnya pengen banget bikin launching release di Jakarta. Kalo di Bandung kemaren itukan lebih ke Secret Show, dimana itu privilege Swinging Friends, orang yang pertama mendengar album Lima.
Originally published at http://www.gilanada.com on May 11, 2018.